Gara-gara Game, Pelajar Asal Yogyakarta Ini Jadi Juara Dunia


Di era digital seperti saat ini banyak kalangan familiar dengan game, baik di gadget maupun lewat perangkat komputer. Pelajar dan mahasiswa merupakan kalangan yang bisa dibilang paling banyak mengakses game, baik online maupun ofline. Mereka rela menghabiskan waktu seharian hanya untuk ngegame. Tak ayal prestasi akademik banyak yang menurun.

Hadirnya game pun dianggap sebagai biang prestasi yang anjlok itu. Tapi tidak serta begitu. Asalkan bijak dalam menekuni hobi ngegame, justru bisa mendatangkan prestasi.

Remaja bernama Maharaj Fawwaz Almuqaddim Yusran mungkin bisa menjadi gambaran positif. Pelajar SMA Islam Terpadu Abu Bakar Yogyakarta ini  menjadi juara dalam kompetensi Google Code In (GCI) belum lama ini.

Prestasi remaja ini bisa menjadi contoh, bahwa permainan game online tidak selama buruk. Dengan catatan, orang tua selalu mendampingi dan mengarahkan anak dengan baik. Berawal dari keranjingan main game sejak kelas III SD, remaja yang akrab disapa Fawwaz ini bertengger menjadi Grand Prize Winner dalam dua besar bersama remaja asal Polandia dalam kompetisi GCI. Ia berhasil menyisihkan sedikitnya 3.500 remaja dari rentang usia 13 hingga 17 tahun dari berbagai belahan dunia.

"Sejak kelas tiga SD itu saya sudah hobi main game," terangnya saat ditemui di SMA IT Abu Bakar Jalan Rejowinangun Yogyakarta belum lama ini.

Sebelum ke ajang GCI, lebih dahulu Fawwas mengikuti berbagai kompetisi di tingkat nasional atau basic code. Di level itu, peserta harus memecahkan nilai dalam suatu barisan. Serta mencari titik eror dengan disodori sebuah program seperti mesin pencari yang harus menyajikan jawaban tepat, ketikan apa yang menimbulkan eror.

Masih di skala nasional itu, peserta diminta memperbaiki sistem eror, baik yang berhasil ditemukan sendiri maupun temuan peserta lain. Setiap tahapan itu Fawwaz dapat melakoni dengan baik, ia mendapatkan sejenis sertifikat yang membuatnya memiliki reputasi untuk berkompetisi di level internasional. Lomba tingkat nasional ini pernah diikutinya pada 2016, namun Fawwaz hanya berhasil memecahkan barisan atau tahap pertama.

Untuk melancarkan kiprahnya di level internasional, Fawwaz bergabung di organisasi OpenMRS yang beranggotakan dari berbagai negara baik dari Amerika, Afrika, Asia hingga Australia. Dengan kemampuan IT yang dimiliki, remaja yang selalu bangun pagi ini berkonsultasi menggunakan aplikasi telegram dengan mentornya berasal dari negara lain untuk mengikuti GCI 2017 pada akhir Nopember tahun lalu. Saat itu ada 25 organisasi yang turut dalam kompetisi coding tersebut.

Tugas yang diberikan oleh GCI sangat beragam, mulai dari desain poster atau banner kemudian diunggah. Serta tugas testing dari OpenMRS, yang merupakan organisasi khusus rekam medis menyediakan program untuk merekam pasien di rumah sakit.

"Awal harus mengenalkan diri di forum, misalnya saya Fawwaz dari Indonesia ingin mengikuti Google Code In," kata Fawwaz

Fawwaz mengikuti kompetisi itu selama tujuh pekan sejak akhir Nopember 2017 dengan menyelesaikan sekitar 20 tugas mulai dari testing hingga pemrograman android yang harus diselesaikan melalui dunia maya. Tetapi jika dihitung ada belasan ribu item tugas yang harus dijalani sejak awal. Apalagi, GCI tidak hanya menilai secara kuantitas saja, namun mengedepankan kuakitas peserta, keaktifan peserta di organisasinya juga menjadi penilaian.

Karena itulah, pelajar kelas XII IPA 3 ini sering aktif dengan memberikan jawaban melalui forum secara online jika ada peserta lain yang bertanya ketika mengalami kesulitan sehingga akan memperoleh nilai tersendiri.

Selama tujuh pekan itu, Fawwaz mengerjakan dengan santai di depan komputer saat setelah subuh hingga akan berangkat ke sekolah dan sepulang dari sekolah. Ia tetap berusaha tertib tidur maksimal jam 22.00 WIB dan bangun lebih pagi.

Ketika itu, Fawwaz harus membagi waktu dengan persiapan ujian akhir semester awal di tahun ajaran 2017/2018 karena bersamaan dengan pekan pertama pelaksanaan kompetisi. Tetapi karena pekan kedua dan seterusnya, ia sudah libur maka proses pengerjaan bisa dimaksimalkan.

Pengumuman pemenang GCI akhirnya ia dapatkan. Fawwas tercatat dalam situs itu sebagai peserta yang paling banyak mengerjakan tugas. Pada awalnya terseleksi sepuluh besar, kemudian disaring lagi menjadi lima pelajar, dua di antaranya sebagai Grand Prize Winner, salah satunya Fawwaz dan tiga pelajar hanya sebagai peserta final. Atas prestasinya itu, selain mendapatkan sertifikat dari Google, ia diundang untuk mengunjungi Google Headquaters di California selama sepekan pada Juni 2018 mendatang.

Kemenangannya di ajang program komputer itu tidak didapatkan secara instan. Fawwaz telah menggeluti teknologi informasih sejak sekolah dasar. Saat masuk SMP di Cholcester Academy Inggris, sudah berlatih membuat game online menggunakan aplikasi drag and drop, ia belajar secara autodidak dari ayahnya yang juga dosen bidang komputer di Unsoed Purwokerto. Pada usia SD sering bermain game, kemudian sang ayah yang juga pendiri Rumah Jagoan Coding itu, berinisiatif mengajarinya membuat game.

"Setelah itu ayah saya mengenalkan bahasa pemograman java, terus saya mulai belajar membuat aplikasi sederhana berbasis teks," ucap putra pasangan Muhammad Yusro dan Maharani ini.

Setelah menguasai java, berpindah ke mesin pembuat game, unity. Fawwas telah membuat puluhan macam game dengan kreatifitasnya saat masih SMP. Ketika SMA, meningkatkan kemampuan dengan membuat aplikasi sederhana pada sistem android. Beberapa karya itu telah diunggah di playstore seperti aplikasi Gempaku yang dapat menampilkan data dari internet ke layar ponsel secara urut dan paling upgrade.

Kemudian aplikasi dzikir Al Ma'surat Go. Saat hari guru 25 Nopember 2017 silam, membuat aplikasi khusus untuk ucapan hari guru kepada guru-gurunya di sekolah, bernama aplikasi AR (Augmented Reality) Hari Guru. Anak pertama dari tiga bersaudara ini juga pernah membuatkan aplikasi penghitung pajak rumah yang merupakan permintaan dari sebuah perusahaan kecil.

Di usianya yang belum genap 17 tahun, Fawwas memiliki cita-cita mendirikan sekolah coding dengan biaya yang murah dan terjangkau bagi masyarakat. Setelah lulus SMA, ia ingin melanjutkan kuliah di bidang informatika yang sudah digandrungi ketimbang jurusan lain. Ia berbagai tips bagi para remaja lain agar memiliki penguasaan di bidang internet.

"Pertama harus belajar bahasa Inggris, karena bahasa program selalu Inggris dan selalu memantau dunia maya untuk update perkembangan teknologi," tutur dia.

Pengalaman terpahit yang dirasakan selama bergelut di dunia pemrograman adalah, ketika hasil aplikasi program yang sudah lama disusun selama berhari-hari namun tidak bisa dijalankan. "Itu pengalaman pahit, biasanya karena saya tidak testing dulu, bikin terus sampai jadi, mau di run nggak bisa," ujar remaja yang tinggal di Giwangan, Yogyakarta ini.

Jelang ujian nasional, remaja kelahiran 25 Juni 2001 ini ingin istirahat dari berbagai proyek coding karena akan fokus mempersiapkan UNBK. "Setelah google code in ini istirahat, mau fokus ke ujian dulu," ungkapnya.

Meski waktunya lebih banyak dihabiskan bersama komputer, namun prestasi akademiknya di sekolah pun tidak kalah. Ia selalu tercatat di peringkat tiga besar di sekolahnya. (arif wahyudi)

Sumber
close
==[ Klik disini 1X ] [ Close ]==